Anewspatron.com, Jabar - Di tengah progres pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan di bawah tanggungjawab PT PLN (persero), ternyata ada masalah yang cukup prinsip di dalamnya terkait regulasi perizinan lahan.

Mega proyek dengan total kapasitas 1.040 Megawatt (MW) itu berlokasi di titik perbatasan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Masalah prinsip tersebut yakni soal pemenuhan kewajiban terhutang lahan kompensasi pemegang IPPKH atau Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan kepada penguasa lahan yang tak lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


Adapun kewajiban terkait IPPKH yang hingga Oktober 2023 ini belum juga dipenuhi oleh PT PLN adalah belum menuntaskan kewajibannya dalam ganti rugi atau kompensasi atas tanah yang digunakan untuk PLTA Upper Cisokan tersebut.

Padahal dalam UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, persoalan lahan yang digunakan untuk proyek kelistrikan merupakan hal yang dilarang untuk diabaikan. 

PT PLN sendiri dalam membangun PLTA Upper Cisokan itu menggunakan dana sebesar USD230 juta dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dalam bentuk co-financing dengan World Bank dengan skema serupa.

Selain itu, pendanaan PLTA Upper Cisokan juga didanai melalui pinjaman dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang merupakan bagian dari World Bank Group dengan total pendanaan USD380 juta.

Dikutip dari laman resmi PLN, sumber dana pinjaman tersebut dikonfirmasi oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan PT PLN, Hadiyanto, di mana komitmen pendanaannya ditandai dengan penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP) antara PLN dengan Kementerian Keuangan melalui skema perjanjian penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA) pada Senin, 14 Maret 2022.

Adapun kewajiban yang belum kunjung dipenuhi PT PLN terkait IPPKH tersebut adalah  kewajiban penyediaan lahan kompensasi seluas dua kalilipat dari lahan yang dgunakan.

Pada tanggal 1 Desember 2021, KLHK melalui surat resminya yang bernomor S.1027/PKTL-REN/PPKH/PLA.0/12/2021, telah memberikan tanggapan atas surat permohonan perpanjangan waktu pemenuhan komitmen atau kewajiban IPPKH/Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan tersebut kepada PT PLN.

Surat tanggapan tersebut ditandatangani langsung oleh Dirjen, Direktur Rencana, Penggunaan, dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK, Roosi Tjandrakirana.

Adapun dalam surat tanggapan itu dijelaskan bahwa PT PLN memohon perpanjangan waktu pemenuhan komitmen penyerahan lahan kompensasi terhadap tiga IPPKH, yang di antaranya adalah IPPKH untuk mega proyek Pembangunan PLTA Upper Cisokan. 

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal nomor 63/1/IPPKH/PMDN/2016 tanggal 19 September 2016, lahan yang digunakan untuk mega proyek PLTA Upper Cisokan seluas 409 Ha dengan jangka waktu 20 tahun.

PT PLN belum menyediakan kekuarangan lahan kompensasi seluas 665,727 Ha, di mana pada saat itu masih dilakukan proses clean & clear calon lahan kompensasi seluas 532,7209 Ha, dan sisanya seluas 133,006 Ha belum mendapatkan lahan.

Terkait itu, Dedi Kurniawan perwakilan dari Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I), menjelaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat KLHK bersama Komisi IV DPR RI pada 30 Maret 2021, legislatif meminta Pemerintah 
melalui KLHK untuk menyampaikan data 
perusahaan pemegang IPPKH yang sudah dan belum 
melaksanakan kewajiban berupa pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS); dan penyediaan lahan kompensasi.

Menyangkut pemenuhan kewajiban lahan kompensasi IPPKH, KLHK menyampaikan bahwa sampai Februari 2021 terdapat 735 wajib bayar yang terdiri dari 537 wajib bayar tambang dan  198 wajib bayar non tambang. 

Namun demikian, hingga RDP tanggal 29 November 2021, belum ada kejelasan berapa jumlah Perusahaan Penunggak Kewajiban IPPKH yang telah dan belum memenuhi kewajibannya lahan kompensasi tersebut, baik pemegang IPPKH 
tambang maupun non tambang. 

"Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan, seharusnya para penunggak  kewajiban IPPKH tersebut telah dicabut IPPKH-nya," terang Dedi Kurniawan dalam ketrangannya kepada Media Tataruang. 

Ke depan, ia berharap pemerintah dapat secara jelas dan tegas melaporkan hasil upaya menagih 
komitmen terhadap pemegang IPPKH yang hingga saat ini belum memenuhi kewajibannya. 

"Negara Jangan terus-menerus mengalah, apalagi kalah, tegarlah  dalam menuntaskan masalah, jangan sampai salah," tegas Dedi Kurniawan yang juga aktivis Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat.

Dedi juga mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit lingkungan dan keuangan PT PLN atas proyek PLTA Upper Cisokan tersebut.(Red_And)